Asap solfatara yang keluar dari kawah Gunung Anak Krakatau, Selat Sunda,
terkumpul dan membentuk awan kecil di atasnya, Rabu (17/8/2011). Di
gunung ini, tim Ekspedisi Cincin Api Kompas memfokuskan eksplorasi
mengenai suksesi alam. Gunung Anak Krakatau, pada awal kemunculannya
tidak dihuni makhluk hidup, kini menjadi habitat berbagai macam flora
dan fauna.
KOMPAS.com — Cemara laut (Casuarina Sp) dan barisan pohon keben (Barringtonia Sp) yang hijau meneduhkan pedalaman Pulau Rakata. Di tepian pantai, hamparan kangkung laut (Ipomoea pes-caprae)
menutupi pasir. Tiba-tiba terdengar suara gemerisik, seekor biawak
cepat-cepat menyelusup ke balik semak-semak. Kehidupan sedemikian
semarak di pulau itu.
Tidak terbayangkan, 128 tahun lalu, pulau
hijau itu merupakan tanah kosong tanpa kehidupan. Di balik pesonanya,
pulau terpencil di Selat Sunda itu menyimpan sejarah kelam. Pada 27
Agustus 1883, Krakatau meletus hebat, menyisakan hanya sepertiga
tubuhnya yang kemudian dikenal sebagai Pulau Rakata. Tebaran abu, batu
apung, dan material lainnya menyelimuti pulau itu dan memusnahkan
kehidupan di atasnya.
Namun, justru letusan dan sejarah Krakatau
itulah yang menarik orang dari berbagai penjuru dunia untuk datang.
Sejak lama letusan Krakatau ibarat magnet yang menyedot pelancong.
Bahkan, pada Mei 1883, saat Krakatau pertama kali meletus, serombongan
turis yang penasaran datang ke sana dengan kapal pesiar.
Perusahaan
Netherland-Indies Steamship Company yang menawarkan "paket wisata"
berlayar ke Krakatau dengan kapal uap Governor General Loudon langsung
diserbu calon penumpang. Sebanyak 86 penumpang kapal itu dibawa
mengelilingi Krakatau, hanya seminggu setelah Krakatau untuk pertama
kalinya meletus pada Mei 1883. Bahkan, kapten kapal GG Loudon, TH
Lindeman, menyediakan sebuah perahu kecil agar para peserta dapat
menjejakkan kaki di Pulau Krakatau yang tengah menggelegak.
"Pemandangan
pulau itu fantastis: pulau itu telanjang dan kering, hutan tropisnya
yang kaya telah lenyap, dan asap naik dari pulau seperti keluar dari
oven," tulis AL Schuurman, yang turut dalam kapal GG Loudon.
Pemandangan
asap yang keluar dari puncak di Krakatau dan hutan lebat yang terbakar
akibat letusan memesona kalangan kaya Belanda di Jakarta. Kapal GG
Loudon pun rutin membawa penumpang melintas di sekitar Krakatau. Bahkan,
saat Krakatau akhirnya meletus hebat dan mengirim tsunami pada 27
Agustus 1883, GG Loudon tengah berada di perairan Selat Sunda membawa
111 penumpang. Kapal ini selamat karena nasib baik.
Sebagaimana
riwayat pendahulunya, asap dan batu pijar yang dilontarkan Anak Krakatau
saat ini juga menjadi atraksi utama wisata. Sejak muncul tahun 1927,
Anak Krakatau menjadi primadona di kompleks kepulauan Krakatau. Bahkan,
pariwisata di kawasan Pantai Anyer-Carita hingga Lampung tak akan
bergairah tanpa daya dukung Anak Krakatau dan aktivitasnya.
Ketua
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Banten Achmad
Sari Alam mengatakan, pada saat gelombang Selat Sunda tidak tinggi dan
cuaca cerah, wisatawan dapat diajak melihat panorama Anak Krakatau
lengkap dengan lelehan lava pijar ataupun letupan seperti kembang api
pada malam hari ketika gunung api tersebut sedang beraktivitas.
Samuel
(30) dari Italia datang ke pesisir Pasauran, Banten, bersama tiga
temannya, termasuk yang tertarik dengan aktivitas Krakatau. Mereka
pernah mendengar tentang sejarah kedahsyatan letusan Krakatau dan
menghabiskan sekitar dua hari berkeliling di kawasan itu.
"Kami
bisa membayangkan kedahsyatan letusan Krakatau. Apalagi, di Italia, kami
juga punya gunung-gunung api dengan letusan besar seperti Etna dan
Vesuvius yang mengubur kota Pompeii. Di dunia, nama Krakatau tak kalah
terkenal," ujarnya.
Tak hanya di Indonesia, keindahan, sejarah,
dan fenomena letusannya membuat gunung-gunung api potensial menjadi
tujuan wisata di dunia sejak dulu kala. Haraldur Sigurdsson dari
Universitas of Rhode Islands dan Rosaly Lopes-Gautier dari Fet
Propulsion Laboratory dalam tulisannya, Volcanoes and Tourism, menyebutkan, pada abad ke-17 dan ke-18, para aristokrat mengunjungi Vesuvius dan Etna sebagai paket tur besar.
Di
Eropa, Thomas Cook membuka jalur kereta api khusus ke puncak Vesuvius
pada tahun 1880 yang banyak mengangkut kaum aristokrat. Jalur tersebut
hancur sebanyak tiga kali karena aliran lava dan tidak dibangun lagi
setelah letusan tahun 1944. Cook juga menghadapi ancaman dari
orang-orang lokal Italia yang selama ini mendapatkan penghasilan dari
mengangkut turis ke puncak gunung dengan kursi tandu.
Pelancong
mengunjungi gunung berapi dengan beragam alasan, salah satunya ialah
menyaksikan dari dekat kekuatan alam. Ketegangan menyaksikan dari dekat
gunung api yang sedang meletus menarik jutaan orang tiap tahun untuk
mengunjungi gunung-gunung aktif meletus, seperti Kilauea (Hawai),
Stromboli (Italia), dan Arenal (Kosta Rika).
Namun, di balik
pesonanya, berwisata ke Anak Krakatau tetaplah berbahaya. Kepala Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, pada
tahun 1980-an, pengajar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dari
Amerika Serikat (AS) tewas saat menyaksikan letusan Anak Krakatau.
Oleh
karena itu, Ketua Pos Pemantauan Gunung Anak Krakatau Anton S
Tripambudi mengingatkan agar wisatawan dan nelayan tetap mematuhi
imbauan supaya tidak mendekati Anak Krakatau dalam radius 2 kilometer.
Batasan jarak ini merujuk pada pengalaman saat Anak Krakatau terakhir
meletus bisa melontarkan batu sejauh 1,5 kilometer, yakni sudah mencapai
perairan di sekeliling pulau ini. Wisatawan dilarang mendarat ke Pulau
Anak Krakatau.
"Untuk kasus Gunung Anak Krakatau (GAK) boleh
didarati kalau statusnya aktif normal atau di Level I. Namun, begitu
masuk Level II (Waspada), gunung api tidak boleh didekati," kata Anton.
Meski demikian, batas 2 kilometer itu kerap tidak digubris.
"Informasi dari orang-orang kapal, kadang dijumpai ada wisatawan, terutama orang asing, yang mendarat di GAK," kata Anton.
Pada
pengujung Agustus 2011 pun terlihat beberapa wisatawan asing yang
mendarat dan berkemah di Anak Krakatau meskipun larangan mendekati pulau
gunung api itu di radius 2 km masih diberlakukan. Tak hanya itu,
beberapa wisatawan lain terlihat berenang di air laut yang hangat.
Bahkan,
saat status gunung ini dinaikkan menjadi Siaga (Level III) pada 30
September 2011, pengunjung yang hendak ke Krakatau tak juga berkurang.
Aktivitas vulkanik di dalam dapur magma yang sangat tinggi beberapa
pekan terakhir juga tak menimbulkan jeri pelancong.
Hayun,
pengelola penginapan di Pulau Sebesi, Lampung Selatan, mengatakan,
mayoritas wisatawan, utamanya wisatawan asing, yang berkunjung ke
tempatnya mengaku tertantang melihat Anak Krakatau saat aktif dari
dekat. Mereka tak cukup melihat semburan lava pijar dari kawah Anak
Krakatau pada malam hari yang bisa dilihat dari Pulau Sebesi atau
kompleks Kepulauan Krakatau.
Padahal, Krakatau sebenarnya tidak
hanya keindahan letusan dan riwayatnya yang seram. Di Krakatau,
pelancong tidak hanya bisa bertualang dan berkesempatan menyaksikan
letusan saat-saat Krakatau memuntahkan isi perutnya, tetapi juga dapat
menikmati flora dan fauna yang hidup di kepulauan itu.
Terlebih
lagi, gugusan Kepulauan Krakatau yang luasnya 13.605 hektar ini masuk ke
dalam kawasan cagar alam dan ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia
(1991) dan merupakan laboratorium alam bagi teori suksesi.
Di
Krakatau, pelancong bisa belajar bagaimana kehidupan tumbuh berkembang
di daratan yang pernah steril dari kehidupan. Pelaku wisata dan
pemerintah semestinya bisa cerdas menangkap peluang yang belum banyak
tergarap ini.(Cyprianus Anto Saptowahyono)
sumber : http://sains.kompas.com/read/2011/12/13/22140183/Keindahan.yang.Berbahaya
Nama : Florentia Vanya Rachel Sanggar
NPM : 12111939
Kelas : 1KA30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar